BUDAYA POLITIK INDONESIA

1. Hierarki yang tegar

Sebenarnya, sangat sulit untuk melakukan identifikasi budaya politik Indonesia, karena atributnya tidak jelas. Akan tetapi, satu hal yang barangkali dapat dijadikan titik tolak untuk membicarakan masalah ini adalah adanya sebuah pola budaya yang dominan, yang berasal dari kelompok etnis Jawa. Etnis ini sangat mewarnai sikap, perilaku, dan orientasi politik kalangan elit politik Indonesia. Bagi masyarakat Jawa, kekuasaan itu pada dasarnya bersifat konkret, besarannya konstan, sumbernya homogen, dan tidak berkaitan dengan persoalan legitimasi. Hal itu berbeda dengan masyarakat Barat, dimana kekuasaan itu bersifat abstrak dan berasal dari macam sumber, seperti uang, harta kekayaan, fisik, kedudukan, asal-usul, dan lain sebagainya. Karena kekuasaan itu berasal dari sumber yang satu, maka sifatnya konstan. Dan selama sumber kekuasaan itu tetap memberikan kekuasaan, maka kekuasaan seorang penguasa akan tetap legitimate dan tidak perlu dipersoalkan.

2. Kecenderungan Patronage

Salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia adalah kecenderungan pembentukan pola hubungan patronage, baik di kalangan penguasa maupun masyarakat , yang di dasarkan atas patronage. Atau, oleh James Scott (1976) disebut sebagai pola hubungan patron-client.

Pola hubungan dalam konteks ini bersifat individual. Antara dua individu, yaitu si Patron dan si Client, terjadi interaksi yang bersifat resiprokal atau timbal-balik dengan mempertukarkan sumber daya (exchange of resources) yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Si Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, kedudukan atau jabatan, perlindungan, perhatian dan rasa sayang, dan tidak jarang pula sumber daya yang berupa materi (harta kekayaan). Sementara, Client memiliki sumber daya berupa tenaga, dukungan, dan loyalitas. Pola hubungan tersebut akan tetap terpelihara selama masing-masing pihak tetap memiliki sumber daya tersebut. Kalau tidak demikian, masing-masing pihak akan mencari orang lain, apakah itu sebagai patron atau sebagai client. Di samping itu, ada satu catatan tambahan yang juga menarik untuk diperhatikan, bahwa tidak jarang pula antara pola hubungan yang bersifat clientlistic ini tumbuh dan berkembang, karena ada orang ketiga yang menjadi perantara, atau disebut sebagai brooker atau middleman.

3. Kecenderungan Neo-Patrimonialistik

Salah satu kecenderungan yang dapat kita amati dalam prpolitikan Indonesia adalah sebuah kecenderungan akan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonialistik. Dikatakan sebagai neo-patrimonialistik, karena negara memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik, seperti birokrasi. Tetapi juga memperlihatkan atribut yang bersifat patrimonialistik.

Implikasi dari semua karakteristik budaya politik seperti yang digambarkan di atas adalah, kekuasaan menjadi tidak terkontrol, bahkan terakumulasi sedemikian rupa, sehingga negara menjadi yang paling kuat da peluang munculnya civil society menjadi sangat terbatas. Apalagi dengan adanya proses pembentukan budaya politik yang dilakukan penguasa melalui sosialisasi atau pendidikan politik yang bersifat doktriner. Kecenderungan penguasa kita dalam menanamkan nilai dan keyakinan politik akan menjadikan individu menjadi objek dari kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar